Fathimah radhiyallahu ‘anha, istri Ali yang juga putri kesayangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam berkata, “Wahai suamiku, sesungguhnya kita sekeluarga belum makan. Sementara tidak ada sedikit pun makanan di rumah ini. Bisakah engkau pergi membeli makanan?”
“Wahai istriku,” jawab Ali dengan pe-rasaan yang sangat malu. “Sesungguhnya hari ini aku tidak memiliki uang sedikit pun.” Saat itu Ali baru tiba dari berjihad demi melindungi Islam dan kaum Muslimin, sehingga selama beberapa waktu terpaksa meninggalkan pekerjaannya mencari uang.
Fathimah tersenyum sabar. Dia ingat kalau telah menyimpan sesuatu. “Wahai suamiku,” kata Fathimah.
“Sesungguhnya aku telah mendapatkan uang 3 Dirham dari hasil bekerja menga-nyam tikar. Pakailah uang ini untuk membeli makanan,” ujar wanita yang digelari Az Zahrah itu sambil menyerahkan uang kepada suaminya.
Ali pun pergi ke pasar hendak membeli makanan. Namun di sebuah jalan yang telah dilaluinya, menantu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam itu berpapasan dengan seorang pria Arab Badui. Orang tersebut berkata, “Wahai menantu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam, sesungguhnya aku sekeluarga belum makan selama tiga hari. Kuharap engkau memberikan belas kasihanmu kepadaku.”
Mendengar keluhan tersebut, Ali berfikir sejenak. Sebenarnya Ali hendak membeli makanan karena ia, istrinya, serta Hasan dan Husein (kedua anaknya yang masih kecil) belum makan seharian.
Tetapi saat ini ada orang lain yang jauh lebih memerlukan bantuan karena sudah tiga hari tidak makan. Akhirnya Ali memutuskan untuk menyedekahkan uang 3 Dirham yang dipegangnya kepada sang pria Badui itu.
Ali pun kembali pulang dengan tanpa membawa makanan. Sesampai di rumah, Fathimah bertanya, “Wahai suamiku, mana makanan yang telah engkau beli?”
Kemudian Ali menceritakan apa yang ia jumpai di jalan.
Setelah mendengar cerita suaminya, Fathimah berkata lirih, “Wahai suamiku, seandainya hanya kita berdua saja yang tidak makan hari ini, maka hal tersebut tidak menjadi persoalan bagiku. Tapi bagaimana dengan Hasan dan Husein (yang masih kecil)? Kasihan mereka.”
“Kalau begitu aku akan mencoba bertemu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam untuk meminta pinjaman. Sesungguhnya beliau adalah orang yang paling dermawan,” kata Ali kemudian ia beranjak dari rumah.
Sesampai di sudut jalanan tempat Ali memberikan sedekah tadi, suami Fathimah itu bertemu dengan sahabat Salman Al Farisi radhiyallahu ‘anhu yang berjalan menuntun ontanya.
“Wahai Ali, sesungguhnya aku ingin menjual ontaku ini kepadamu dengan harga 30 Dirham,” ujar Salman.
Ali mengamati onta tersebut dan berkata, “Sesungguhnya aku sangat ingin sekali membeli onta ini. Tapi saat ini aku tidak memiliki uang.”
“Tidak masalah. Bayar kapan saja kalau kamu sudah punya uang,” kata Salman menyerahkan ontanya.
Setelah beberapa langkah Salman meninggalkan Ali, datanglah seseorang. “Wahai menantu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam, maukah kamu menjual onta ini? Saya akan membelinya dengan harga 60 Dirham,” kata orang tersebut.
“Silahkan jika anda berminat,” kata Ali gembira.
Selesai transaksi Ali mengejar Salman untuk membayar 30 Dirham, harga onta yang ia beli. Setelah onta tersebut laku dengan harga 60 Dirham, Ali mendapatkan keuntungan 30 Dirham. Uang itu kemudian dibelikan makanan dan barang-barang kebutuhan lainnya.
Berdasarkan kisah tersebut, ada beberapa pelajaran berharga yang dapat kita ambil, di antaranya:
Pertama, Allah ta’ala akan membe-rikan balasan sedekah kita di dunia, deng-an balasan yang berlipat ganda.
Dalam kisah di atas, Ali bin Abu Thalib radhiyallahu ‘anhu mendapatkan ganjaran sebanyak 10 kali lipat dari sedekah yang ia berikan (3 Dirham menjadi 30 Dirham).
Dengan demikian, seseorang tidak perlu takut kehilangan (sebagian) hartanya, apalagi sampai khawatir jatuh miskin karena bersedekah. Bahkan semakin banyak sedekah yang kita berikan maka semakin besar pula balasan yang Allah ta’ala berikan di dunia ini.
Allah ta’ala telah memberikan gambaran balasan kepada orang yang bersedekah (terlebih sedekah untuk kemajuan Islam dan orang-orang yang mendakwahkan agama-Nya dalam Al Quran:
“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir: seratus biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah maha luas (karunia-Nya) lagi maha mengetahui.” (QS Al Baqarah : 261)
Kedua, Allah ta’ala akan menjauhkan kita dari azab-Nya.
Dengan memberikan sedekah kepada orang yang membutuhkan berarti secara otomatis kita bersyukur atas (kelebihan) rezeki yang dikaruniakan Allah ta’ala kepada kita.
Allah ta’ala menegaskan:
“Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (QS Ibrahim : 7)
Dalam sejarah, Qarun la’natullahu ‘alaihi diberikan kelapangan rezeki yang sangat banyak oleh Allah ta’ala. Namun ia meng-kufuri nikmat-Nya (termasuk enggan memberikan sedekah), sehingga Allah ta’ala mengazabnya di dunia dengan gempa bumi dahsyat yang mengakibatkan ia beserta seluruh hartanya hancur lebur dan terkubur di dalam bumi. Itu baru azab dunia, sementara azab di akhirat kelak jauh lebih dahsyat lagi.
Ketiga, Allah ta’ala akan menghilangkan kesusahan kita pada hari kiamat.
Memberikan sedekah juga dapat menghilangkan kesulitan kita di hari kiamat, sebab dengan bersedekah kita telah menghilangkan kesulitan (kesusahan) saudara seiman di dunia. Kebaikan ini tidak akan disia-siakan oleh Allah ta’ala sebagaimana dijanjikan melalui sabda Rasulullah shallalahu ‘alaihi wassalam:
“Barang siapa yang melepaskan kesusahan seorang Muslim di dunia, maka Allah akan melepaskan kesusahannya di akhirat….” (HR. Muslim)
Oleh: Abu Ibrahim Muhammad Afif